LAW

All posts in the LAW category

Perbedaan Undang-Undang dengan Peraturan Perundang-Undangan

Published December 20, 2012 by ISMAYA DWI AGUSTINA

Pertanyaan :

Apakah perbedaan undang-undang dengan peraturan perundang-undangan?

Jawaban :

Ilman Hadi
https://i0.wp.com/images.hukumonline.com/frontend/lt4fbded50bf741/lt4fcc5e79a314b.jpg

Pengertian dari peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 12/2011”) adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.

Sedangkan, pengertian undang-undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan persetujuan bersama Presiden (Pasal 1 angka 3 UU 12/2011).

Berdasarkan dua pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa undang-undang (“UU”) adalah termasuk salah satu jenis peraturan perundang-undangan. Selain UU, menurut ketentuan UU 12/2011, Undang-Undang Dasar 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Daerah Provinsi (Perda Provinsi), dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota juga termasuk kategori peraturan perundang-undangan.

Kemudian hierarki dari peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 7 UU 12/2011:
Pasal 7
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

a.    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b.    Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c.    Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d.    Peraturan Pemerintah;

e.    Peraturan Presiden;

f.     Peraturan Daerah Provinsi; dan

g.    Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Sedangkan, dari sisi ilmu perundang-undangan, menurut Bagir Manan sebagaimana dikutip oleh Maria Farida Indrati Soeprapto dalam buku Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi Materi dan Muatan (hal. 10-11), pengertian peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut:

1)    Setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat umum

2)    Merupakan aturan-aturan tingkah laku yang berisi ketentuan-ketentuan mengenai hak, kewajiban, fungsi, dan status atau suatu tatanan

3)    Merupakan peraturan yang mempunyai ciri-ciri umum-abstrak atau abstrak-umum, artinya tidak mengatur atau tidak ditujukan pada obyek, peristiwa atau gejala konkret tertentu.

4)    Dengan mengambil pemahaman dalam kepustakaan Belanda, peraturan perundang-undangan lazim disebut dengan wet in materiёle zin atau sering juga disebut dengan algemeen verbindende voorschrift.

Jadi, peraturan perundang-undangan merupakan peraturan bersifat umum-abstrak, tertulis, mengikat umum, dibentuk oleh oleh lembaga atau pejabat yang berwenang dan bersifat mengatur.

Dari uraian tersebut, kiranya dapat disimpulkan bahwa peraturan perundangan-undangan adalah semua peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang telah ditetapkan. Sedangkan, undang-undang merupakan salah satu jenis dari peraturan perundang-undangan.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

from : http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5094bd4fc0c40/perbedaan-undang-undang-dengan-peraturan-perundang-undangan

Bolehkah Meminta Salinan Putusan Pengadilan?

Published December 9, 2012 by ISMAYA DWI AGUSTINA
Pertanyaan:
Bolehkah wartawan meminta salinan putusan pengadilan?
Jawaban:
Amrie Hakim
https://i0.wp.com/images.hukumonline.com/frontend/lt4b4586344aa95/lt4f828a3b70846.jpg

Sebelumnya, perlu diketahui bahwa salinan putusan pengadilan hanya diberikan pengadilan kepada para pihak yang berperkara, dan bukan kepada publik atau masyarakat pada umumnya. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 52A ayat (2) UU No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (“UU 49/2009”), yang menyatakan:

Pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan kepada para pihak dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak putusan diucapkan.

Jadi, menurut UU 49/2009 yang berhak mendapatkan salinan putusan pengadilan adalah para pihak yang berperkara. Sedangkan, bagi masyarakat umum, termasuk wartawan, maka dapat memperoleh putusan pengadilan dalam bentuk fotokopi atau naskah elektronik, bukan salinan resmi. Demikian sebagaimana ditegaskan dalam Huruf C. 2. 1 Lampiran I Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung No 1-144/KMA/SK/I/2011 tentang Pedoman Pelayanan Informasi di Pengadilan (“SK KMA 1-144/2011”).

Hal lain yang perlu diketahui yaitu bagi masyarakat umum, ada biaya yang akan dibebankan jika ingin memperoleh informasi (dalam hal ini putusan) dari pengadilan. Hal ini diatur dalam Huruf D Lampiran I SK KMA 1-144/2011 yang menyatakan:

1.    Biaya perolehan informasi dibebankan kepada Pemohon.

2.    Biaya perolehan informasi sebagaimana dimaksud butir 1 terdiri atas biaya penggandaan (misalnya fotokopi) informasi yang dimohonkan serta biaya transportasi untuk melakukan penggandaan tersebut.

3.    Biaya penggandaan sebagaimana dimaksud butir 2 adalah biaya riil yang ditetapkan oleh penyedia jasa pelayanan penggandaan.

4.    Atasan PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi) menetapkan biaya riil transportasi untuk melakukan penggandaan informasi sebagaimana dimaksud butir 2 dengan memperhatikan kondisi wilayah, dalam hal biaya tersebut diperlukan (misalnya lokasi penyedia jasa pelayanan penggandaan jauh dari Pengadilan).

5.    Terhadap permohonan informasi mengenai penggandaan putusan atau penetapan tidak dikenakan biaya leges (meterai tempel, red) karena yang dapat diberikan kepada pemohon bukan merupakan salinan resmi.

Jadi, wartawan dan warga masyarakat lainnya boleh mendapatkan fotokopi atau naskah elektronik putusan pengadilan, bukan salinan resminya. Adapun salinan putusan pengadilan hanya boleh diberikan pengadilan kepada para pihak yang berperkara. Simak juga artikel Adakah Biaya yang Dikenakan untuk Mendapat Putusan Pengadilan?

 

Demikian informasi dari kami, semoga bermanfaat.

Praktik Legislative Review dan Judicial Review di Indonesia

Published December 9, 2012 by ISMAYA DWI AGUSTINA

Pertanyaan :

1. Apa pengertian legislative review dan judicial review dan bagaimana praktiknya terhadap peraturan perundang-undangan di RI?

2. Hal-hal apa sajakah yang dapat dilakukan review?

3. Bagaimanakah review dilakukan oleh masing-masing lembaga yang terkait dengan adanya trichotomy (Trias Politica)?

IDHAM

Jawaban:
Ali Salmande
https://i0.wp.com/images.hukumonline.com/frontend/lt4b710bde88c68/lt4f82a0e3362a1.jpg

1.      Judicial Review merupakan proses pengujian peraturan perundang-undangan yang lebih rendah terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang dilakukan oleh lembaga peradilan. Dalam praktik, judicial review (pengujian) undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (“MK”). Sedangkan, pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU dilakukan oleh Mahkamah Agung (“MA”). Lebih jauh simak artikel “Perbedaan Judicial Review dengan Hak Uji Materiil”).

Secara teori, lembaga peradilan – baik MK maupun MA – yang melakukan judicial review hanya bertindak sebagai negative legislator. Artinya, lembaga peradilan hanya bisa menyatakan isi norma atau keseluruhan norma dalam peraturan perundang-undangan itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat bila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Mereka tidak boleh menambah norma baru ke dalam peraturan perundang-undangan yang di-judicial review.

Sementara, legislative review adalah upaya ke lembaga legislatif atau lembaga lain yang memiliki kewenangan legislasi untuk mengubah suatu peraturan perundang-undangan. Misalnya, pihak yang keberatan terhadap suatu undang-undang dapat meminta legislative review ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) –dan tentunya pemerintah (dalam UUD 1945, pemerintah juga mempunyai kewenangan membuat UU)- untuk mengubah UU tertentu.

Sedangkan, untuk peraturan perundang-undangan yang lain seperti Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres) dan Peraturan Daerah, setiap warga negara tentu bisa meminta kepada lembaga pembuatnya untuk melakukan legislative review atau melakukan revisi. Simak juga artikel “Hierarki Peraturan Perundang-undangan (2)”.

2.      Permohonan judicial review memiliki syarat yang lebih ketat dibanding legislative review. Dalam judicial review, sebuah peraturan perundang-undangan hanya bisa dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat bila memang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. Sedangkan, dalam legislative review, setiap orang tentu bisa saja meminta agar lembaga yang memiliki fungsi legislasi melakukan revisi terhadap produk hukum yang dibuatnya dengan alasan, misalnya, peraturan perundang-undangan itu sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang sederajat secara horizontal.

3.      Sebagaimana kita ketahui bersama, dalam trias politica dikenal tiga macam kekuasaan. Yakni, kekuasaan legislatif (pembuat undang-undang), kekuasaan eksekutif (pelaksana undang-undang), dan kekuasaan yudikatif atau peradilan (penegak undang-undang). Kewenangan judicial review diberikan kepada yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat undang-undang.

Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat.

Praktik Legislative Review dan Judicial Review di Indonesia

Published December 6, 2012 by ISMAYA DWI AGUSTINA

Pertanyaan :

1. Apa pengertian legislative review dan judicial review dan bagaimana praktiknya terhadap peraturan perundang-undangan di RI?

2. Hal-hal apa sajakah yang dapat dilakukan review?

3. Bagaimanakah review dilakukan oleh masing-masing lembaga yang terkait dengan adanya trichotomy (Trias Politica)?

idham

 

Jawaban :

Ali Salmande
https://i0.wp.com/images.hukumonline.com/frontend/lt4b710bde88c68/lt4f82a0e3362a1.jpg

1.      Judicial Review merupakan proses pengujian peraturan perundang-undangan yang lebih rendah terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang dilakukan oleh lembaga peradilan. Dalam praktik, judicial review (pengujian) undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (“MK”). Sedangkan, pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU dilakukan oleh Mahkamah Agung (“MA”). Lebih jauh simak artikel “Perbedaan Judicial Review dengan Hak Uji Materiil”).

Secara teori, lembaga peradilan – baik MK maupun MA – yang melakukan judicial review hanya bertindak sebagai negative legislator. Artinya, lembaga peradilan hanya bisa menyatakan isi norma atau keseluruhan norma dalam peraturan perundang-undangan itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat bila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Mereka tidak boleh menambah norma baru ke dalam peraturan perundang-undangan yang di-judicial review.

Sementara, legislative review adalah upaya ke lembaga legislatif atau lembaga lain yang memiliki kewenangan legislasi untuk mengubah suatu peraturan perundang-undangan. Misalnya, pihak yang keberatan terhadap suatu undang-undang dapat meminta legislative review ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) –dan tentunya pemerintah (dalam UUD 1945, pemerintah juga mempunyai kewenangan membuat UU)- untuk mengubah UU tertentu.

Sedangkan, untuk peraturan perundang-undangan yang lain seperti Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres) dan Peraturan Daerah, setiap warga negara tentu bisa meminta kepada lembaga pembuatnya untuk melakukan legislative review atau melakukan revisi. Simak juga artikel “Hierarki Peraturan Perundang-undangan (2)”.

2.      Permohonan judicial review memiliki syarat yang lebih ketat dibanding legislative review. Dalam judicial review, sebuah peraturan perundang-undangan hanya bisa dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat bila memang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. Sedangkan, dalam legislative review, setiap orang tentu bisa saja meminta agar lembaga yang memiliki fungsi legislasi melakukan revisi terhadap produk hukum yang dibuatnya dengan alasan, misalnya, peraturan perundang-undangan itu sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang sederajat secara horizontal.

3.      Sebagaimana kita ketahui bersama, dalam trias politica dikenal tiga macam kekuasaan. Yakni, kekuasaan legislatif (pembuat undang-undang), kekuasaan eksekutif (pelaksana undang-undang), dan kekuasaan yudikatif atau peradilan (penegak undang-undang). Kewenangan judicial review diberikan kepada yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat undang-undang.

Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat.

from : http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl1105/praktik-legislative-review-dan-judicial-review-di-indonesia

Hak Pasien atas Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit

Published December 6, 2012 by ISMAYA DWI AGUSTINA

pertanyaan :

Bagaimana perlindungan hukum bagi para pasien di rumah sakit?

jawaban :

Shanti Rachmadsyah
https://i0.wp.com/images.hukumonline.com/frontend/lt4b9a1eb24a495/lt4f82909856ae8.jpg

 

Pasien rumah sakit adalah konsumen, sehingga secara umum pasien dilindungi dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU No. 8/1999). Menurut pasal 4 UU No. 8/1999, hak-hak konsumen adalah:

a)     Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b)     hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c)     hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

d)     hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e)     hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f)       hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g)     hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h)     hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran juga merupakan Undang-Undang yang bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi pasien. Hak-hak pasien diatur dalam pasal 52 UU No. 29/2004 adalah:

a)      mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (3);

b)     meminta pendapat dokter atau dokter lain;

c)     mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;

d)     menolak tindakan medis;

e)     mendapatkan isi rekam medis.

Perlindungan hak pasien juga tercantum dalam pasal 32 Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, yaitu:

a)     memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;

b)     memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien;

c)     memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi;

d)     memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;

e)     memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi;

f)       mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan;

g)     memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;

h)     meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit;

i)        mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya;

j)       mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan;

k)      memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;

l)        didampingi keluarganya dalam keadaan kritis;

m)    menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya;

n)     memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di Rumah Sakit;

o)     mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit terhadap dirinya;

p)     menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya;

q)     menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana; dan

r)       mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya apabila hak-haknya dilanggar, maka upaya hukum yang tersedia bagi pasien adalah:

1.      Mengajukan gugatan kepada pelaku usaha, baik kepada lembaga peradilan umum maupun kepada lembaga yang secara khusus berwenang menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha (Pasal 45 UUPK)

2.      Melaporkan kepada polisi atau penyidik lainnya. Hal ini karena di setiap undang-undang yang disebutkan di atas, terdapat ketentuan sanksi pidana atas pelanggaran hak-hak pasien.

Demikian sejauh yang kami ketahui. Semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1.      Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
2.      Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran
3.      Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
from : http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl2431/hak-pasien-atas-pelayanan-kesehatan-di-rumah-sakit

Hukum Jual Beli Ponsel Tanpa Garansi di Pasar Gelap (Black Market)

Published December 4, 2012 by ISMAYA DWI AGUSTINA

Pertanyaan :

Apakah dasar hukum bagi penjualan telepon selular yang black market atau tanpa garansi?

btifaona
https://i0.wp.com/static.hukumonline.com/frontend/default/images/gravatar-140.png

Istilah black market diterjemahkan sebagai pasar gelap oleh kamus “English-Indonesia” yang kami akses dari situs kamus.ugm.ac.id. Kemudian, menurut buku “Belajar Hidup Bertanggung Jawab, Menangkal Narkoba dan Kekerasan” yang ditulis oleh Lydia Herlina Martono et.al. (hlm. 20), suatu perdagangan yang dilakukan di pasar gelap, artinya dilakukan di luar jalur resmi sebab melanggar hukum.

Mahkamah Agung dalam Putusan No. 527 K/Pdt/2006 juga menggunakan istilah black market untuk menyebut suatu perdagangan yang tidak resmi.

Cakupan istilah pasar gelap ini cukup luas, selama perdagangan tersebut melanggar hukum dan dilakukan di luar jalur resmi, maka dapat disebut sebagai suatu pasar gelap. Misalnya, barang (telepon selular) yang diperdagangkan tersebut merupakan hasil pencurian, penyelundupan, atau tidak dilengkapi perizinan untuk dapat diperdagangkan, sehingga melanggar suatu ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dasar dari terjadinya jual beli adalah perjanjian jual beli. Salah satu syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) adalah adanya sebab yang halal yakni sebab yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun dengan ketertiban umum (lihat Pasal 1337 KUHPer).

Sehingga, jika telepon selular yang diperdagangkan itu diperoleh dari hasil pencurian, penyelundupan, penadahan atau diperoleh dengan cara-cara lain yang melanggar undang-undang, dapat dikatakan jual beli tersebut tidak resmi/tidak sah dan terhadap pelakunya dapat dijerat dengan pasal-pasal pemidanaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”).

Selain itu, telepon selular termasuk produk telematika sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan No.: 19/M-DAG/PER/5/2009 (“Permendag 19/M-DAG/PER/5/2009”). Definisi produk telematika menurut Pasal 1 angka 1 Permendag 19/M-DAG/PER/5/2009 adalah sebagai berikut:

“Produk telematika adalah produk dari kelompok industri perangkat keras telekomunikasi dan pendukungnya, industri perangkat penyiaran dan pendukungnya, industri komputer dan peralatannya, industri perangkat lunak dan konten multimedia, industri kreatif teknologi informasi, dan komunikasi.”

Telepon selular, menurut ketentuan Lampiran I Permendag 19/M-DAG/PER/5/2009, merupakan salah satu produk yang wajib dijual dengan disertai kartu jaminan/garansi purna jual dalam Bahasa Indonesia.

Hal tersebut terkait juga pengaturan Pasal 2 ayat (1) Permendag 19/M-DAG/PER/5/2009 yang menyatakan bahwa:

“Setiap produk telematika dan elektronika yang diproduksi dan/atau diimpor untuk diperdagangkan di pasar dalam negeri wajib dilengkapi dengan petunjuk penggunaan dan kartu jaminan (garansi purna jual) dalam Bahasa Indonesia.

Karena itu, terhadap penjual telepon selular yang melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (1) Permen 19/M-DAG/PER/5/2009 berlaku ketentuan Pasal 22 Permen 19/M-DAG/PER/5/2009 yang menyatakanbahwa:

 

“Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat [1], dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UUPK”).”

Jika kita melihat pada ketentuan UUPK, Pasal 8 ayat (1) huruf j UUPK menyatakan bahwa seorang pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang yang tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam Bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Terhadap pelanggaran Pasal 8 UUK ini pelaku usaha dapat dikenakan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2 miliar (lihat Pasal 62 ayat [1] UUPK).

Maka, berdasarkan pengaturan Pasal 62 ayat [1] jo. Pasal 8 ayat (1) UUPK seorang penjual telepon selular yang tidak memberikan kartu garansi dan layanan purna jual dapat dikenai sanksi pidana. Lebih lanjut, mengenai penuntutan berdasarkan Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) dapat disimak juga artikel iPad Dijual Tanpa Bahasa Indonesia.

Dari uraian di atas, dapat kiranya disimpulkan bahwa penjualan telepon selular di pasar gelap atau tanpa garansi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan adalah melanggar hukum.

Sekian jawaban dari kami, semoga membantu.

Dasar hukum:

1.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23).

2.      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No. 732).

3.      Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

4.      Peraturan Menteri Perdagangan Nomor: 19/M-DAG/PER/5/2009 tentang Pendaftaran Petunjuk Penggunaan (Manual) dan Kartu Jaminan/Garansi Purna Jual Dalam Bahasa Indonesia Bagi Produk Telematika Dan Elektronika

from : http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl2937/hukum-jual-beli-ponsel-tanpa-garansi-di-pasar-gelap-%28black-market%29

Tugas dan Wewenang MPR

Published December 4, 2012 by ISMAYA DWI AGUSTINA
Pertanyaan:
Tugas dan Wewenang MPR
Salam kenal dan salam sejahtera bagi kita semua. Ada beberapa pertanyaan yang ingin saya ajukan mengenai tugas dan wewenang MPR RI, diantaranya sebagai berikut:
1. Menurut Pasal 3 ayat (1) UUD 1945, MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD:
a. kapan MPR dapat melakukan perubahan terhadap UUD kita dan bagaimana prosedur dalam mengubah UUD tersebut?
b. sebenarnya sudah berapa kali MPR melakukan perubahan UUD kita (apakah 4x) dan kapan saja hal itu dilakukan?
2. Menurut Pasal 3 ayat (3) UUD 1945, MPR dapat memberhentikan Presiden dan Wapres dalam masa jabatannya:
a. kapan MPR dapat memberhentikannya?
b. bagaimana prosedur dalam memberhentikan Presiden dan Wapres dalam masa jabatannya? Sebelum dan sesudahnya saya ucapkan terima kasih kepada hukumonline.com serta mohon jawabannya. Terima kasih. dian surya atmaja.

surya_atmaja
Jawaban:
Ali Salmande
https://i0.wp.com/images.hukumonline.com/frontend/lt4b710bde88c68/lt4f82a0e3362a1.jpg
Penjelasan atas pertanyaan-pertanyaan no. 1:

a.      Kapan MPR dapat melakukan perubahan terhadap UUD kita dan bagaimana prosedur dalam mengubah UUD tersebut?

Secara yuridis tak ada aturan yang mensyaratkan kapan sebuah peraturan perundang-undangan, termasuk konstitusi atau Undang-Undang Dasar, harus diubah. Namun, lazimnya, sebuah peraturan perundang-undangan akan diubah bila sudah tak dapat lagi mengikuti perkembangan zaman atau dianggap tidak mampu lagi melindungi hak-hak warga negaranya.

Khusus untuk UUD 1945, berdasarkan Buku Naskah Komprehensif Perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945” terbitan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi, aturan tersebut diubah karena adanya Reformasi 1998 yang salah satu tuntutannya adalah perubahan UUD 1945. Tuntutan rakyat inilah yang menjadi salah satu alasan Majelis Permusyawaratan Rakyat (“MPR”) mengamandemen UUD 1945.

Prosedur perubahan UUD 1945 diatur dalam Pasal 37 UUD 1945. Pasal 37 Ayat (1) UUD 1945 menyebutkan ‘Usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR’. Pasal 37 Ayat (3) berbunyi ‘Untuk mengubah pasal-pasal UUD, Sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlagh anggota MPR’.

Pasal 37 Ayat (4) menyatakan ‘Putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR’.

b.      Sebenarnya sudah berapa kali MPR melakukan perubahan UUD kita (apakah empat kali) dan kapan saja hal itu dilakukan?

MPR telah mengubah UUD 1945 sebanyak empat kali atau tahap. Yakni, pada tahap pertama amandemen dilakukan pada 14-21 Oktober 1999. Tahap kedua dilakukan pada 7-18 Agustus 2000. Tahap ketiga pada 1-9 Oktober 2001. Tahap keempat pada 1-12 Agustus 2002.

Namun, perlu Anda ketahui, Indonesia pernah menggunakan ‘konstitusi lain’ selain UUD 1945 sebagai dasar negara. Yakni, pada 1949, ketika Indonesia berbentuk negara federal, Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS). Namun, berlakunya Konstitusi RIS ini tak menghapus UUD 1945, karena UUD 1945 masih berlaku di Negara Bagian RIS di Yogyakarta dengan Presiden Mr. Moh. Asaat (lihat “Buku I Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945 terbitan Setjend MK”, hal 31).

Lalu, pada 1950, Indonesia menggunakan UUD Sementara (UUDS 1950). ‘Konstitusi’ ini digunakan sementara untuk memberi waktu para anggota konstituante untuk membentuk UUD yang baru sama sekali. Namun, ‘proyek’ ini gagal, hingga akhirnya Presiden Soekarno menerbitkan dekrit presiden yang salah satu isinya adalah mengembalikan UUD 1945 sebagai dasar negara.

Penjelasan atas pertanyaan-pertanyaan no. 2:

a.      Kapan MPR dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden?

MPR dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden setelah mendapat usul dari Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) melalui sidang paripurna. Usulan DPR ini harus berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (“MK”) yang menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa (i) pengkhianatan terhadap negara, (ii) korupsi, (iii) penyuapan, dan (iv) tindakan tercela lainnya, atau (v) perbuatan tercela dan/atau (vi) Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat menduduki jabatannya (lihat Pasal 7B ayat [5] UUD 1945).

b.      Bagaimana prosedur dalam memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya?

Pada prinsipnya, Presiden dan/atau Wakil Presiden tak boleh melakukan kejahatan, perbuatan atau berada dalam kondisi yang disebut di atas. Apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan kejahatan, perbuatan atau berada dalam kondisi tersebut, maka DPR dapat mengajukan permintaan kepada MK untuk mengadili pelanggaran itu (lihat Pasal 7B ayat [1] UUD 1945).

Pengajuan permintaan ini hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripuerna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR 9 (lihat Pasal 7B ayat [3] UUD 1945). Lalu, MK wajib memeriksa, mengadili, dan memutus permintaan tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan DPR itu (lihat Pasal 7B ayat [4] UUD 1945).

Setelah MK memutus perkara itu, maka putusan dikembalikan ke DPR. Setelah itu, DPR menggelar sidang paripurna untuk meneruskan hasil putusan itu ke MPR sebagai usul memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden (lihat Pasal 7B ayat [5] UUD 1945). MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutus usulan DPR itu paling lambat tiga puluh hari sejak MPR menerima usul itu (lihat Pasal 7B ayat [6] UUD 1945).

Pada tahap akhir, MPR menerbitkan Keputusan terhadap usul pemberhentian itu dan harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR (lihat Pasal 7B ayat [7] UUD 1945).

Demikian uraian kami, semoga dapat Anda pahami.
Dasar hukum:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

from : http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4cc6a009be454/tugas-dan-wewenang-mpr

PENGERTIAN TEORI

Published November 26, 2012 by ISMAYA DWI AGUSTINA

Teori merupakan salah satu konsep dasar penelitian sosial. Teori adalah seperangkat konsep atau konstruk, defenisi dan proposisi yang berusaha menjelaskan hubungan sistimatis suatu fenomena, dengan cara memerinci hubungan  sebab-akibat yang terjadi.

Dari bukunya Pak Erwan dan Dyah (2007) teori menurut definisinya adalah serangkaian konsep yang memiliki hubungan sistematis untuk menjelaskan suatu fenomena sosial tertentu. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa teori merupakan salah satu hal yang paling fundamental yang harus dipahami seorang peneliti ketika ia melakukan penelitian karena dari teori-teori yang ada peneliti dapat menemukan dan merumuskan permasalahan sosial yang diamatinya secara sistematis untuk selanjutnya dikembangkan dalam bentuk hipotesis-hipotesis penelitian.

Teori adalah seperangkat konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang memberikan, menjelaskan, dan memprediksikan phenomena. Ada dua macam teori, yaitu teori intuitif dan teori ilmiah. Teori intutif adalah teori yang dibangun berdasarkan pengalaman praktis. Sedangkan teori ilmiah (teori formal) adalah teori yang dibangun berdasarkan hasil-hasil penelitian. Guru lebih sering menggunakan teori jenis yang pertama.

Teori adalah serangkaian bagian atau variabel, definisi, dan dalil yang saling berhubungan yang menghadirkan sebuah pandangan sistematis mengenai fenomena dengan menentukan hubungan antar variabel, dengan menentukan hubungan antar variabel, dengan maksud menjelaskan fenomena alamiah. Labovitz dan Hagedorn mendefinisikan teori sebagai ide pemikiran “pemikiran teoritis” yang mereka definisikan sebagai “menentukan” bagaimana dan mengapa variable-variabel dan pernyataan hubungan dapat saling berhubungan.

Kata teori memiliki arti yang berbeda-beda pada bidang-bidang pengetahuan yang berbeda pula tergantung pada metodologi dan konteks diskusi. Secara umum, teori merupakan analisis hubungan antara fakta yang satu dengan fakta yang lain pada sekumpulan fakta-fakta. Selain itu, berbeda dengan teorema, pernyataan teori umumnya hanya diterima secara “sementara” dan bukan merupakan pernyataan akhir yang konklusif. Hal ini mengindikasikan bahwa teori berasal dari penarikan kesimpulan yang memiliki potensi kesalahan, berbeda dengan penarikan kesimpulan pada pembuktian matematika. Sedangkan secara lebih spesifik di dalam ilmu sosial, terdapat pula teori sosial. Neuman mendefiniskan teori sosial adalah sebagai sebuah sistem dari keterkaitan abstraksi atau ide-ide yang meringkas dan mengorganisasikan pengetahuan tentang dunia sosial.

Teori dalam ilmu pengetahuan berarti model atau kerangka pikiran yang menjelaskan fenomena alami atau fenomena sosial tertentu. Teori dirumuskan, dikembangkan, dan dievaluasi menurut metode ilmiah. Teori juga merupakan suatu hipotesis yang telah terbukti kebenarannya.

Dalam istilah ilmiah, teori itu benar-benar sebuah hipotesis yang telah terbukti sesuai dengan fakta-fakta dan yang memiliki kualitas prediktif. Dengan definisi tersebut, dan tanpa mendevaluasi keyakinan, tidak semua keyakinan akan dianggap sebagai teori. Suatu teori harus dapat diuji kebenarannya, karena jika tidak, maka dia bukanlah suatu teori.

Suatu Teori pada hakekatnya merupakan hubungan antara dua fakta atau lebih, atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta tersebut merupakan sesuatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris. Teori merupakan hubungan dua variabel atau lebih, yang telah diuji kebenarannya. Variabel merupakan karakteristik dari orang-orang, benda-benda atau keadaan yang mempunyai nilai-nilai yang berbeda, misalnya usia, jenis kelamin, dsb.

Dalam banyak literatur dijelaskan bahwa teori (yang berasal dari kata: thea) selalu menggunakan bangunan berfikir yang tersusun sistematis, logis (rasional), empiris (kenyataan), juga simbolis dalam menjelaskan suatu fenomena.

Teori sebagai buah pikir manusia tentu tidak datang begitu saja, penemuan atas sebuah teori disandarkan pada suatu hasil penelitian dan pengujian secara berulang-ulang hingga menghasilkan sebuah hipotesis dan beranak menjadi sebuah teori.

Dalam kehidupan sehari-hari kita sering menjumpai teori yang dikontraskan dengan praktik yang ada, atau teori dengan fakta. Teori tidak selamanya selalu sama dengan fakta yang terjadi pada kenyataannya, atau das sollen dengan das seinnya tidak sama, bertentangan, teori seolah menjadi entitas yang berbeda dengan faktanya. Maka tidak heran jika kini banyak penelitian-penelitian hukum khususnya yang mencoba untuk menguji kebenaran teori dengan fakta.

Dalam lapangan ilmu social yang sangat dinamis pengujian atas sebuah teori adalah keniscayaan. Teori-teori yang sudah ada sebelumnya belum tentu dapat diterapkan kembali dalam perkembangan interaksi antar manusia yang semakin komleks, dan untuk itu kemudian munculah teori-teori baru yang mementahkan teori-teori lama. Dan disinilah pengunaan dan pemilihan teori dalam sebuah penelitian menjadi sangat penting

Secara umum istilah teori dalam ilmu sosial mengandung beberapa pengertian sebagai berikut:

  1. Teori adalah abstraksi dari realitas.
  2. Teori terdiri dari sekumpulan prinsip-prinsip dan definisi-definisi yang secara konseptual mengorganisasikan aspek-aspek dunia empiris secara sistematis.
  3. Teori terdiri dari teorema-teorema yakni generalisasi yang diterima/terbukti secara empiris.

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa teori pada dasarnya merupakan “konseptualisasi atau penjelasan logis dan empiris tentang suatu fenomena”.

Teori memiliki dua ciri umum:

  1. Semua teori adalah “abstraksi” tentang suatu hal. Dengan demikian teori sifatnya terbatas.
  2. Semua teori adalah konstruksi ciptaan individual manusia. Oleh sebab itu sifatnya relatif dalam arti tergantung pada cara pandang si pencipta teori, sifat dan aspek hal yang diamati, serta kondisi-kondisi lain yang mengikat seperti waktu, tempat dan lingkungan sekitarnya.

Teori adalah kerangka yang membantu kita menyelesaikan atau mengelompokkan berbagai perilaku-perilaku kita dan menyatukannya menjadi hal yang bermakna.

Teori adalah system abstrak dari sebuah konsep dengan indikasi hubungan diantara konsep-konsep tersebut yang dapat membantu kita memahami sebuah fenomena.

  • Karl Popper (1959: 48) : Teori adalah jaringan untuk menangkap apa yang kita sebut sebagai “dunia”. Teori membantu kita memahami kenyataan .
  • Jonathan H. Turner (1986:5) : Teori adalah proses pengembangan ide-ide yang akan membantu kita menjelakan bagaimana dan mengapa sebuah kejadian dapat terjadi.
  • William Doherty (1993:20) : Teori adalah proses sistematik dalam merumuskan dan mengorganisasi ide menjadi sebuah fenomena tertentu yang dapat dipahami.
  • Mark (1963) membedakan adanya 3 macam teori yaitu :

(1)                                                                                              Teori yang deduktif :  memberi keterangan yang dimulai dari suatu perkiraan atau pemikiran spekulatif tertentu ke arah data yang akan diterangkan

(2)                                                                                              Teori yang induktif  :     cara menerangkannya adalah dari data ke arah teori, dalam bentuk ekstrim titik pandang yang posivistis ini dijumpai pada kaum behaviorist;

(3)                                                                                              Teori yang fungsional : disini nampak suatu interaksi pengaruh antara data dan perkiraan teoritis, yaitu data mempengaruhi pembentukan teori dan pembentukan teori kembali mempengaruhi data.

KLASIFIKASI TEORI

  • · Grand Theory

Grand teori adalah pemaknaan perilaku dengan cara yang benar secara universal. Grand teori memikiki kemampuan untuk menyatukan semua pengetahunan yang kita miliki mengenai komunikasi menjadi sebuah kerangka teori.

Contoh: Marxism

Grand theory komunikasi sebagaian besar tidak ada yang eksis, misalnya dalam komunitas, pasti komunitas tersebut berbeda dengan komunitas lainnya.

  • A mid-range Theory

A mid-range teori menjelaskan perilaku sebuah kelompok orang dibandingkan dengan semua orang atau mencoba menjelaskan perilaku semua orang dalam sebuah waktu atau konteks tertentu.

Banyak teori komunikasi yang masuk dalam kategori ini.

– Uncartainly reduction: Bagaimana orang berhadapan dengan orang asing.

– Face negotiation theory: Bagaimana orang berbeda budaya mencoba mengelola konflik.

– Group theory: Bagaimana orang-orang dalam kelompok menyetujui sebuah keputusan.

  • · Narrow Theory

Narrow teori menitikberatkan pada orang-orang tertentu pada waktu tertentu.

Mis : aturan-aturan komunikasi dalam sebuah konflik umum.

Ada beberapa konflik misalnya dalam sebuah stand point theory harapan bahwa koreksi tentang sebab perempuan harus dimodifikasi dengan menghubungkan pada tingkatan dan ras.

KOMPONEN TEORI

  • Konsep

Adalah kata-kata, gagasan atau istilah yang melabeli elemen paling penting dalam teori.

1. Konsep nominal: adalah konsep yang tidak terlihat seperti demokrasi atau cinta.

2. Konsep real: adalah konsep yang terlihat seperti ritual atau jarak spasial.

  • Hubungan (relationship)

Adalah cara dimana sebuah konsep teori digabungkan.

KRITERIA UNTUK MENGEVALUASI TEORI

  • Scope (lingkup keluasan)

Didasari pada keluasan perilaku komunikasi yang dicakup oleh teori. Meski teori harus bisa menjelaskan komunikasi menjadi bermakna namun tetap harus ada batasan pada keluasan lingkup atau cakupannya.

  • Logical Consistency

Teori harus masuk akal dan memiliki konsistensi logic yang dan tidak bertentangan. Teori harus dapat membuat penjelasan yang baik, yang menunjukkan bahwa konsep-konsep saling bekerjasama dan hasil apa yang didapat dari interaksinya.

  • Parsimony

Apakah bisa se-simpel mungkin menjelaskan fenomena. Jika sebuah teori dapat menejelaskan perilaku komunikator hanya dengan satu konsep, tidak perlu lagi menggunakan konsep-konsep lainnya.

  • Utility

Apakah teori bisa digunakan? Teori seharusnya dapat menjelaskan elemen-elemen komuniksi yang tadinya tidak jelas.

  • Testability

Testability mengacu kepada kemampuan untuk menginvestigasi keakuratan teori.

  • Heurism

Apakah teori telah digunakan dalam penelitian secara intensif untuk menciptakan cara baru berpikir mengenai komunikasi.

  • Test of time

Sudah berapa lama sebuah teori digunakan dalam penelitian komunikasi.

KEGUNAAN TEORI 

Kerlinger (1978) mengemukakan bahwa Theory is a set of interrelated construct (concepts), definitions, and proposition that present a systematic view of phenomena by specifying relations among variables, with purpose of explaining and predicting the phenomena. Teori adalah seperangkat konstruk (konsep), definisi, dan proposisi yang berfungsi untuk melihat fenomena secara sistematik, melalui spesifikasi hubungan antar variabel, sehingga dapat berguna untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa teori adalah seperangkat konsep, definisi dan proposisi yang tersusun secara sistematis yang dapat digunakan untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena.

Setiap penelitian selalu menggunakan teori. Teori berfungsi untuk memperjelas masalah yang diteliti, sebagai dasar merumuskan hipotesis, dan sebagai referensi untuk menyusun instrumen penelitian. Semua peneliti harus berbekal teori agar wawasannya menjadi lebih luas dan dapat menyusun instrumen penelitian yang baik.

Pentingnya teori adalah sebagai kerangka kerja penelitian. Teori sangat berguna untuk kerangka kerja penelitian, terutama untuk mencegah praktek-praktek pengumpulan data yang tidak memberikan sumbangan bagi pemahaman peristiwa. Empirisme yang polos, menurut Suppes (dalam Bell, 1986) merupakan bentuk coretan mental dan ketelanjangan tubuh yang jauh lebih menarik daripada ketelanjangan fikiran.

Menurut Suppes (dalam Bell, 1986) ada empat fungsi umum teori. Fungsi ini juga berlaku bagi teori belajar, yakni:

  1. Berguna sebagi kerangka kerja untuk melakukan penelitian.
  2. Memberikan suatu kerangka kerja bagi pengorganisasian butir-butir informasi tertentu.
  3. Identifikasi kejadian yang komplek.
  4. Reorganisasi pengalaman-pengalaman sebelumnya.

Pentingnya teori adalah sebagai kerangka kerja penelitian. Teori sangat berguna untuk kerangka kerja penelitian, terutama untuk mencegah praktek-praktek pengumpulan data yang tidak memberikan sumbangan bagi pemahaman peristiwa.

TUJUAN TEORI

  • Adalah menjelaskan, memahami, memprediksi dan perubahan sosial.
  • Membantu kita menemukan jawaban pertanyaan mengapa dan bagaimana mengenai pengalaman-pengalaman komunikasi kita.
  • Suatu teori atau beberapa teori merupakan ikhtisar daripada hal-hal yang telah diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang dipelajari sosiologi.
  • Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada seseorang yang memperdalam pengetahuannya di bidang sosiologi.
  • Teori berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang dipelajari oleh sosiologi. Bahan Ajar Pengantar Sosiologi.
  • Suatu teori akan sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan definisi-definisi yang penting untuk penelitian.
  • Pengetahuan teoritis memberikan kemungkinan-kemungkinan untuk mengadakan proyeksi sosial, yaitu usaha untuk dapat mengetahui kearah mana masyarakat akan berkembang atas dasar fakta yang diketahui pada masa lampau dan pada dewasa ini.

Sifat dan tujuan teori menurut Abraham Kaplan (1964) adalah bukan semata untuk menemukan fakta yang tersembunyi, tetapi juga suatu cara untuk melihat fakta, mengorganisasikan serta merepresentasikan fakta tersebut. Teori yang baik adalah teori yang konseptualisasi dan penjelasannya didukung oleh fakta serta dapat diterapkan dalam kehidupan nyata. Apabila konsep dan penjelasan teori tidak sesuai dengan realitas, maka keberlakuannya diragukan dan teori demikian tergolong teori semu.

Menurut Littlejohn (1996) fungsi teori ada 9 (sembilan) yaitu:

  1. Mengorganisasikan dan menyimpulkan

Kita tidak melihat dunia dalam kepingan-kepingan data. Sehingga dalam mengamati realitas kita tidak boleh melakukannya setengah-setengah. Kita perlu mengorganisasikan dan mensintesiskan hal-hal yang terjadi dalam kehidupan. Pola-pola dan hubungan-hubungan harus dapat dicari dan ditemukan. Kemudian diorganisasikan dan disimpulkan. Hasilnya berupa teori dapat dipakai sebagai rujukan atau dasar bagi upaya-upaya studi berikutnya.

  1. Memfokuskan

Teori pada dasarnya hanya menjelaskan tentang suatu hal bukan banyak hal. Untuk itu aspek-aspek dari suatu objek harus jelas fokusnya.

  1. Menjelaskan

Teori harus mampu membuat suatu penjelasan tentang hal yang diamatinya. Penjelasan ini berguna untuk memahami pola-pola, hubungan-hubungan dan juga menginterpretasikan fenomena-fenomena tertentu. Atau dengan kata lain teori-teori menyediakan tonggak-tonggak penunjuk jalan untuk menafsirkan, menerangkan dan memahami kompleksitas dari hubungan-hubungan manusia.

  1. Mengamati

Teori tidak hanya menjelaskan tentang apa yang sebaiknya diamati tetapi juga memberikan petunjuk bagaimana cara mengamatinya. Terutama bagi teori-teori yang memberikan definisi-definisi operasional, teoretikus bersangkutan memberikan kemungkinan indikasi yang paling tepat mengenai apa yang diartikan oleh suatu konsep tertentu. Jadi dengan mengikuti petunjuk-petunjuk kita dibimbing untuk mengamati seluk beluk yang diuraikan oleh teori itu.

  1. Membuat prediksi

Fungsi prediksi ini dengan berdasarkan data dan hasil pengamatan maka harus dapat dibuat suatu perkiraan tentang keadaan yang bakal terjadi apabila hal-hal yang digambarkan oleh teori juga tercermin dalam kehidupan di masa sekarang.

  1. Heuristik (membantu proses penemuan)

Sebuah aksioma yang terkenal adalah bahwa suatu teori yang baik melahirkan penelitian. Teori yang diciptakan harus dapat merangsang timbulnya upaya-upaya penelitian selanjutnya.

  1. Mengkomunikasikan pengetahuan

Teori harus dipublikasikan, didiskusikan, dan terbuka terhadap kritikan-kritikan. Sehingga penyempurnaan teori akan dapat dilakukan.

  1.  Kontrol/mengawasi

Fungsi ini timbul dari persoalan-persoalan nilai, di dalam mana teoretikus berusaha untuk menilai keefektifan dan kepatutan perilaku tertentu. Teori dapat berfungsi sebagai sarana pengendali atau pengontrol tingkah laku kehidupan manusia.

  1. Generatif

Fungsi ini terutama sekali menonjol dikalangan pendukung aliran interpretif dan teori kritis. Menurut mereka, teori juga berfungsi sebagai sarana perubahan sosial dan kultural, serta sarana untuk menciptakan pola dan cara kehidupan yang baru.

Menurut Graham C. Kinloch teori adalah suatu proposisi yang berfungsi untuk menjelaskan suatu fenomena atau gejala, apabila terdapat teori sosial maka teori tersebut akan menjelaskan gejala-gejala sosial, apabila terdapat teori hukum, maka teori hukum adalah merupakan proposisi yang menjelaskan fenomena atau gejala hukum.
Penggunakan suatu teori sangat penting dalam penelitian karena teori berfungsi membantu mengkompilasi pengetahuan yang akan diteliti. Teori berfungsi sebagai guidence dalam arti panduan untuk menyeleksi informasi yang tidak diperlukan dan tidak relevan dapat dikesampingkan. Teori menjadi point of depature atau titik berangkat frame work/kerangka kerja karya ilmiah dan sekaligus mengontrol kemungkinan bias dalam melakukan pengamatan dan atau interpretasi.

(ISMAYA DWI AGUSTINA)